Minggu, 21 Maret 2010

Di Balik Cerita Duka Korban Tsunami di Aceh

Di Balik Cerita Duka Korban Tsunami di Aceh




Di balik cerita duka korban tsunami di Aceh, ada juga sukacita yang dirasakan warga yang selamat. Salah
satunya, menempati rumah baru yang dibangun sejumlah LSM dan negara-negara donor. Pascatsunami, warga
tidak lagi harus bertahan hidup di rumah-rumah kayu yang kumuh. Mereka bisa menjalani hidup lebih nyaman
di rumah-rumah permanen.

SOFYAN Arsyad, salah seorang pegawai koperasi nelayan yang sejak awal tahun lalu tinggal di kampung Alun Naga, Kecamatan Syah Kuala, Banda Aceh, bersyukur bisa menempati rumah permanen tersebut. Rumahnya relatif
Dapat Penghasilan dari Sewa Rumah Bantuan bagus. Seukuran tipe 46 dengan luas tanh sekitar 200 meter persegi.
"Ya, kalau dihitung-hitung, lebih baik sekarang. Rumah sudah permanen. Kalau dulu, mikir berapabiaya untuk bikin rumah permanen," ujarnya kepada INDOPOS.

Sebelum musibah tsunami, dia tinggal di rumah kayu sekitar 100 meter mepet kawasan Pantai Alun Naga. Lingkungannya bisa dikatakan kumuh dan kotor. Tetangganya membikin kandang bebek tak jauh dari rumah Sofyan. "Jadi, bisa dibayangkan kotornya rumah." ucapnya.

Ketika tsunami menerjang. Sofyan mati-matian menyelamatkan diri. Namun, dia harus merelakan istri dan anak semata wayangnya tewas. Pascatsunami. pria berusia 35 tahun itu mulai membangun kehidupan baru. Dia menikah dengan perempuan yang juga tetangga di desanya. Saat ini mereka dikaruniai seorang anak.

Dengan menggunakan sedikit tabungan hasil kerja di koperasi, ditambah penghasilan tambahan sebagai relawan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias (BRR), Sofyan dapat mempercantik rumah bantuan yang dihibahkan kepadanya. Dia adalah salah seorang di antara warga relokasi dari tepi pantai. "Sekarang sudah tambah kamar dan dapur agak luas." ujarnya.

Dia menyatakan tidak akan menjual rumahnya itu. "Kalau dijual, saya mau tinggal di mana," katanya.
Namun, pemberian rumah bantuan menjadi ladang bisnis bagi sejumlah warga di kampung itu. Sofyan menuturkan, warga yang dulu kaya dan punya beberapa rumah akan menyewakan rumah bantuan itu. Lumayan, setahun harga sewa rumah di kawasan itu berkisar Rp 3 juta. Kalau tidak mujur, harga sewa bisa hanya berkisar Rp 22 juta-Rp 2,5 juta.

Ada pula cara lain untuk mendapatkan uang. Biasanya pemilik rumah yang akan disewakan itu adalah anak-anak. Mereka menjadi yatim piatu karena kedua orang tuanya tewas akibat tsunami. Saat pemberian bantuan, bocah-bocah itu terdaftar sebagai penerima.

"Apalagi, kedua orang tuanya juga punya tanah. Jadi, dia (bocah bersangkutan) berhak (menerima)," ucap Sofyan. Hanya, karena masih kecil, bocah adi memilih untuk menyewakan rumah bantuan kepada orang lain. Sedangkan dia tinggal bersama paman atau saudaranya di kawasan yang sama.

Di kawasan Kampung Persahabatan Indonesia-Tiongkok, di kawasan Neheun, Aceh Besar, harga sewa rumah sebetulnya sama tinggi dengan di Alun Naga. Namun, tidak banyak warga setempat yang berani memindahtangankan rumah tersebut. "Kami belum memiliki sertifikat. Jadi, atas dasar apa, kami menjual rumah itu." kata Mochtrar, pensiunan PNS Pemkot Banda Aceh, yang kini menjadi tukang ojek. "Kami khawatir urusannya menjadi panjang," lanjutnya, lamas tertawa.

INDOPOS juga sempat menyusun dan melihat dari dekat rumah-rumah bantuan di kampung Meunasah Masjid di kawasan pesisir Pantai Lhok Nga, Aceh Besar. Di sana sejumlah rumah tak ditempati, (git/dwi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar