Rabu, 05 Juni 2013

Analisis Perkembangan Daerah Sumatera Selatan

Perkembangan Daerah Sumatera Selatan 2008-2013 Visi pembangunan daerah Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2008-2013 adalah “Sumatera Selatan Sejahtera dan Terdepan Bersama Masyarakat Cerdas yang Berbudaya”. Dengan visi ini, masa depan Sumatera Selatan yang diinginkan adalah : Daerah yang memiliki sumber daya manusia handal dengan produktivitas tinggi yang bermartabat dan berkeadilan Daerah Surplus pangan yang berkelanjutan dan komoditas perdagangan yang berdaya saing tinggi Daerah lumbung energi nasional Daerah industri maju berbasis sumber daya lokal dengan optimasi peningkatan nilai tambah dan modal Daerah yang mempunyai jati diri sejati yang tidak luntur dengan majunya ekonomi dan teknologi serta pengaruh budaya baru. Secara konsisten, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menuangkan upayanya untuk mencapai hal tersebut ke dalam perencanaan, strategi dan berbagai program pembangunan yang dikristalisasikan ke dalam 3 (tiga) hal pokok, yaitu Reorientasi, Reposisi, dan Revitalisasi. Reorientasi, ditujukan untuk mengubah dari pertumbuhan ekonomi menjadi perbaikan ekonomi termasuk atau sekaligus pemerataan. Manajemen pembangunan diarahkan untuk memacu pemerataan melalui pertumbuhan bukan sebaliknya. Pertumbuhan adalah alat ukur yang mengindikasikan kemajuan pencapaian kesejahteraan, yang dalam bentuk sederhana berupa pengurangan jumlah penduduk miskin dan pengangguran Reposisi, dimaksudkan sebagai perubahan peran Pemerintah Provinsi dari pelaksana menjadi perencana, pelaksana dan pembiaya pembangunan sekaligus. Perubahan peran tersebut mengharuskan perbedaan pola kerja pimpinan puncak Pemerintah Provinsi dari mengatur ke dalam (inward looking) menjadi mencari ke luar (outward looking). Artinya, daerah tidak dapat sepenuhnya menggantungkan pada kekuatan sumber daya alam yang tersedia tetapi harus mampu membangun jejaring yang luas (pembiayaan, kerjasama, pasar, investasi). Revitalisasi, dimaksudkan untuk menguatkan kembali perencanaan jangka panjang dan lembaga perencana. Dalam satu daerah hanya ada satu rencana pembangunan induk yang menjadi acuan semua pihak terkait dan bertanggung jawab dalam pelaksanaan dan pembiayaan. Hal ini memungkinkan terjadinya keterpaduan dalam pelaksanaan pembangunan, sehingga lebih efektif, efisien dan profesional. Menuju masyrakat sejahtera merupakan upaya yang menuntut perubahan mendasar yang dramatis. Oleh karena itulah, penekanan khusus pada peruahan diangkat menjadi tema pokok pembangunan Sumatera Selatan, yakni “PERUBAHAN MELALUI REORIENTASI, REPOSISI DAN REVITALISASI (3R-CHANGE)“. Perubahan mendasar yang dramatis dimulai dalam bidang pendidikan dan kesehatan dengan program sekolah gratis dan berobat gratis. Program yang dibiayai secara bersama oleh Provinsi dan 15 Kabupaten/Kota se Sumatera Selatan ini terbukti mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) setiap tahun, bahkan diatas rata-rata nasional. Peningkatan setiap tahun juga pada Angka Harapan Hidup, Angka Melek Huruf, Rata-rata Lama Sekolah , dan Pengeluaran per Kapita. Peningkatan ini terjadi di semua kabupaten/kota, yang membuktikan bahwa program yang dilaksanakan secara bersama akan membuahkan hasil yang juga dinikmati bersama. Perubahan dramatis juga terjadi di bidang pengelolaan keuangan, baik dalam meningkatkan pendapatan maupun belanja anggaran pembangunan. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan pengelolaan mutu perencanaan yang disusun secara bersama antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota, dan ditindaklanjuti dengan peningkatan sistem penganggaran yang baik, transparan dan akuntabel. Bermodalkan kemampuan keuangan dareah yang dapat diandalkan tersebut, upaya peningkatan pendanaan dari luar untuk mempercepat pembangunan daerah, khususnya penyediaan infrastruktur, dapat dilangsungkan dengan posisi tawar daerah yang lebih seimbang. Dengan demikian terbangun jejaring kerjasama yang lebih luas, yang salah satunya terwujud melalui penyelenggaraan event Internasional South East Asia (SEA) Games ke 26 dengan hampir 80% pembiayaan didukung oleh swasta. Dampak dari perubahan tersebut juga dirasakan hingga ke daerah Kabupaten/Kota, yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan daerah kabupaten/Kota, yang ditunjukkan oleh peningkatan pendapatan daerah yang meningkat secara signifikan, jaringan aksesibilitas antar daerah yang semakin luas, dan terutama pembangunan daerah yang semakin seimbang antara daerah yang satu dengan yang lain. Namun berbagai perubahan tersebut tidaklah terlepas pengaruh internal dan eksternal. Pertambahan penduduk, pelayanan pendidikan dan kesehatan, konflik lahan, batas wilayah, tata kelola pemerintahan, pemerintah yang bersih, infrastruktur, pemanfaatan sumber daya alam, adalah beberapa masalah internal yang seringkali menghambat. Perluasan peluang kerja, investasi, produksi dan produktivitas, nilai tambah, kerjasama pembangunan, regulasi, politik, merupakan beberapa pengaruh eksternal yang seringkali menunda bahkan membatalkan rencana pembangunan yang telah disusun. Dibutuhkan aparat yang profesional, yang mampu menangkap ketidaksinkronan atau potensi konflik yang mengganggu bahkan menghambat perubahan positif yang hendak dilakukan. Dengan semangat perubahan mesin birokrasi pemerintah harus didukung oleh aparat yang memiliki enterpreneurship, tidak hanya berindak administratif dan kaku dengan aturan semata tetapi memiliki kreativitas, inovatif, menemukan terobosan, dan mendahulukan pelayanan daripada mengharapkan hasil/imbal balik. Kegiatan pembangunan tidak dapat lagi disusun secara rutinitas, melainkan harus disusun dengan memperhitungkan untung-rugi, kemanfaatan nyata bagi masyarakat dan daerah. Dengan demikian kemajuan pembangunan daerah dapat lebih dicapai. Berbagai prestasi pembangunan daerah yang telah diraih, baik oleh Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Pengakuan Pemerintah pusat dan dari berbagai pihak dalam dan luar negeri mendandai keberhasilan yang dicapai sebagai dampak positif upaya perubahan yang dilangsungkan dalam kurun waktu hampir 5 tahun ini. Pengakuan tersebut meliputi antar lain bidang pendidikan, kesehatan, perencanaan pembangunan, pengelolaan keuangan daerah, litbang, investasi, pertanian tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, transmigrasi, perumahan rakyat, energi dan sumber daya mineral, olahraga, dan penanggulangan bencana.

Cara Mengatasi Wilayah Perbatasan Agar Tidak Lepas Dari Negara Indonesia

Cara Mengatasi Wilayah Perbatasan Agar Tidak Lepas Dari Negara Indonesia Mengapa Orang Papua Minta Merdeka? Permasalahan Papua dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah terjadi sejak permulaan integrasi Papua ke dalam NKRI. Proses integrasi yang dipaksakan melalui penentuan pendapat rakyat (PEPERA) pada tahun 1969 sesungguhnya tidak adil karena hanya melibatkan 1.045 orang. Dari jumlah tersebut tidak semuanya orang Papua. Bahkan ironinya, hampir semua peserta PEPERA dikondisikan untuk memilih bergabung dengan NKRI. Setelah diintegrasikan fase berikutnya adalah operasi militer dan intelejen untuk menghancurkan rakyat Papua yang berideologi lain. Kelompok-kelompok masyarakat yang mencoba menyuarakan keadilan di atas tanah Papua dihancurkan secara sistematis. Atas nama keutuhan NKRI, pembunuhan, penghilangan dan pemerkosaan terhadap rakyat Papua dilegalkan. Fase selanjutnya adalah eksploitasi sumber daya alam dan transmigrasi. Sumber daya alam, terutama hasil hutan, hasil laut, tambang dan minyak bumi dikeruk. Pada waktu yang bersamaan, dengan alasan demi pemerataan penduduk, ribuan orang didatangkan ke tanah Papua melalui program transmigrasi. Eksploitasi sumber daya alam di tanah Papua terus berlangsung, sementara manusia Papua terabaikan bahkan terlupakan. Akibatnya, setelah 43 tahun (1969-2012) manusia Papua tetap terbelakang. Bahkan penduduk dan orang Papua yang berdiam di tanah ini tercatat sebagai manusia termiskin di Indonesia. Ironi yang tidak dapat diterima dengan akal sehat, sebab Papua terkenal sebagai pulau terkaya di Indonesia bahkan di seantero jagad, tetapi penduduknya hidup miskin. Untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat Papua, kita tidak perlu menggunakan aneka teori sosial, sebab ke mana mata memandang, pasti dijumpai orang Papua yang hidup melarat. Perumahan kumuh, tanpa fasilitas yang memadai, pendidikan dan kesehatan yang terbelakang. Akibatnya mata rantai kebodohan terus berlanjut. Dan lebih tragis lagi kondisi kesehatan orang Papua yang sangat memprihatinkan. Kehidupan ekonomi orang Papua berada jauh di bawah kaum imigran yang menguasai semua sektor ekonomi. Jurang kesenjangan sosial dan ekonomi yang sangat dalam tentu menimbulkan gesekan yang sering digiring ke ranah politik. Setiap kali orang Papua mengekspresikan kekecewaan atas berbagai bentuk ketidakadilan yang dialaminya, selalu diberi stigma makar. Orang Papua pantas berteriak dan memperjuangkan nasibnya karena setelah sekian puluh tahun digabungkan dengan Indonesia, mereka tidak mengalami kemajuan apa pun. Pembangunan yang dilakukan di Papua dinikmati oleh kaum imigran yang tinggal di kota-kota di Papua. Sementara orang Papua yang semakin termarginal tidak menikmati apa pun. Rasa tidak puas akan ketimpangan pembangunan dan lambannya upaya mengentaskan kemiskinan bagi orang Papua menimbulkan aneka gejolak. Namun, sayangnya, setiap gejolak yag muncul selalu ditafsirkan sebagai upaya untuk memisahkan diri dari NKRI. Entah mengapa, Indonesia selalu takut dan alergi terhadap tuntutan orang Papua untuk memisahkan diri? Kalau pembangunan berjalan lancar, kalau saja orang Papua diperhatikan, kalau saja derajat dan martabat hidup orang Papua dihormati, tentu tidak ada suara-suara merdeka/referendum. “Ngapaian orang Papua berteriak merdeka, kalau mereka sudah sejahtera?” Justru keterpurukan hidup yang mereka alami selama ini mendorong mereka untuk memperjuangkan nasibnya yang tidak kunjung berubah. Sampai saat ini, pembangunan untuk Papua belum memadai. Aneka kebijikan dan peraturan yang dibuat untuk menyejahterakan orang Papua belum mampu membawa perubahan bagi hidup orang Papua. Mengapa? Hal yang tidak dapat disangkal bahwa tidak ada kepercayaan dan penghargaan terhadap martabat manusia Papua sebagai pemilik sah atas tanah Papua. Orang Papua selalu dicurigai. Tidak ada lagi kepercayaan terhadap orang Papua, sebab setiap orang Papua yang memiliki pikiran dan tindakan kritis selalu dicap sebaga separatis. Bentuk kecurigaan pemerintah Republik Indonesia terhadap orang Papua termanifestasi dalam dan melalui kehadiran aparat militer yang tidak dapat dibendung. Di mana-mana di tanah Papua dibangun pos-pos militer untuk mengawasi gerak hidup orang Papua. Akibatnya, orang Papua tidak merasa nyaman di atas tanahnya sendiri.Kita patut merenung: “Orang Papua sudah hidup menderita, selalu diawasi, dan diberi aneka stigma negatif. Bagaimana rasanya hidup menderita di atas tanah yang kaya raya? Bagaimana menyaksikan orang lain hidup kaya raya sementara para pemilik tanah ini hidup melarat?” http://sejarah.kompasiana.com/2012/11/14/mengapa-orang-papua-minta-merdeka-509020.html